Rabu, 21 November 2012

Peluang dan Kontroversi Kehadiran UU ITE

Peluang dan Kontroversi Peluang yang dapat diambil dengan kehadiran UU ITE ini adalah sebagai berikut : 
 1. Penyelenggaran Sistem Elektronik (Certificate Authority / CA) diharuskan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia (pasal 13 sampai 16). CA dari luar negeri yang terkenal seperti Verisign dan Geotrust dianggap tidak memiliki cukup informasi untuk melakukan verifikasi terhadap identitas seseorang di dalam Indonesia. Ini memberi peluang bagi bisnis baru di Indonesia. Juga dalam hal audit kehandalan atau kesesuaian yang meliputi banyak paramater, dari manajemen umum, kebijakan, manajemen resiko, otentikasi, otorisasi, pengawasan, ekpertise yang memadai, dll. Sebagian besar UU ini memang mengatur Infrastruktur Kunci Publik (Public Key Infrastructure/PKI). Untuk diketahui pada tahun 2006 sudah diterbitkan Peraturan Menkominfo 29/PERM/M.KOMINFO/11/2006 tentang pengorganisasian, pengawasan, dan pengamanan infrastruktur CA ini. UU ini dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan. Aksi membobol sistem pihak lain (cracking) kini dilarang secara eksplisit.
 Pencegahan terhadap sabotase terhadap perangkat digital dan jaringan data yang dapat mengganggu privasi seseorang membutuhkan suatu sistem security yang baik. Ini adalah peluang bagi masyarakat untuk menjadi praktisi keamanan jaringan. Jika seseorang tidak memanfaatkan internet untuk hal-hal negatif, tidak ada yang perlu ditakutkan dengan kehadiranUU ITE ini. Karenanya kekawatiran pengusaha Warnet sebenarnya tidak beralasan, mungkin dalam hal petunjuk pelaksanaannya saja yang memang belum jelas karena ada beberapa Peraturan di bawahnya yang belum selesai dibuat.

 2. Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat perlindungan hukum. Kini Tandatangan Elektronik sudah memiliki kekuatan hukum sehingga dianggap sama dengan tandatangan konvensional, sehingga alat bukti elektronik sudah diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. 

 3. Kegiatan ekonomi bisa mendapatkan perlindungan hukum, misalnya E-tourism, E-learning, implementasi EDI, transaksi dagang via, sehingga jika ada yang melakukan pelanggaran akan bisa segera digugat berdasarkan pasal-pasal UU ITE ini. 

Hambatan pengurusan ekspor-import terkait dengan transaksi elektronik dapat diminimalkan, apalagi jika nantinya sudah kerjasama berupa mutual legal assistance sudah dapat terealisasikan.

 4. Walaupun masih perlu ada Mutual Legal Assistance (MLA), UU ini sudah dibuat dengan menganut prinsip extra territorial jurisdiction sehingga kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dari luar Indonesia, akan bisa diadili dengan UU ini. 

 5. Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase.

 6. UU ITE ini memberi peluang sebesar-besarnya kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet (terlepas dari sisi negatifnya) untuk digunakan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Public awareness harus dibangun secara kontinyu, sehingga “bahasa” internet di Indonesia menjadi bahasa yang bermartabat. Tentu saja ini harus dibarengi dengan infrastruktur yang mumpuni untuk mengurangi dampak negatifnya. Pembentukan ID-SIRTI tampaknya sudah mengarah ke sana. Di balik segala peluang tersebut, muncul banyak kontroversi yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE ini. Apa saja kelemahan yang menjadi dasar bagi para kalangan yang kontra terhadap kehadiran UU ITE ini ? 1. UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia. 2. Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang? 3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL. 4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi. 5. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum. Akhirnya dampak nyata UU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya. Lembaga sekuat KPK saja dalam hal penyadapan, misalnya, harus berhati-hati menggunakannya, jika tidak mau menuai kritikan dari para praktisi hukum. Mengutip pernyataan Menkominfo bahwa penerapan UU ITE harus memuat titik temu, harus seimbang, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Di situlah mungkin seninya. Referensi 1. Edmon Makarim., S.Kom., S.H., LL.M, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE), Depkominfo, 2008 2. Cahyana Ahmadjayadi, Peran e-Government Untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik, Depkominfo, 2003 3. I Wayan “Gendo” Suardana, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berekspresi, 2008 4. M Jafar Elly, Mengoptimalkan UU ITE, Republika 17 April 2008 Source: http://makhdor.blogspot.com/2009/01/uu-ite-antara-peluang-dan-kontroversi_26.html http://www.binushacker.net/polemik-dan-kontroversi-uu-ite.html


sumber : http://ghanchou.blogspot.com

Tandatangan Elektronik

Tandatangan Elektronik Proses terjadinya tandatangan elektronik (TE) dimulai dengan suatu pesan asli yang dimasukkan dalam suatu fungsi Hash sehingga menghasilkan suatu message digest. Message digest ini sama dengan suatu “sidik jari” sehingga jika ada perubahan sekecil apapun dari message digest ini maka message asli tidak akan dapat direproduksi lagi karena “sidik jari” telah berubah. image Gambar 3. Mekanisme Tandatangan Elektronik Dari gambar tersebut maka yang disebut dengan TE adalah Message Digest yang telah ditandatangani menggunakan private key. Selanjutnya recipient ketika menerima “plain text + tandatangan” akan memisahkan antara “plain text” dengan “tandatangan”. Bagian “tandatangan“ tadi akan dibuka menggunakan public key yang dimiliki recipient sehingga menjadi message digest (sebut saja message digest A), lalu “plain text” tadi akan dimasukkan ke fungsi Hash yang sama dengan sender, maka muncullah “message digest” kedua (sebut saja message digest B). Maka kedua message digest A dan B ini lalu dibandingkan. Jika sama, berarti tidak ada perubahan dalam proses pengiriman sampai ke recipient. Sumber : http://www.binushacker.net/polemik-dan-kontroversi-uu-ite.html

Kontroversi Yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE

1. UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia. 2. Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang? 3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL. 4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi. 5. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum. Source: http://makhdor.blogspot.com/2009/01/uu-ite-antara-peluang-dan-kontroversi_26.html http://www.binushacker.net/polemik-dan-kontroversi-uu-ite.html

UU ITE sebagai payung hukum

Hampir semua aktivitas cyber crime membutuhkan aktivitas lainnya untuk melancarkan aktivitas yang dituju. Karena itu UU ITE harus mampu mencakupi semua peraturan terhadap aktivitas-aktivitas cybercrime …. cybercrime,dan seharusnya masyarakat dapat diperkenalkan lebih lanjut lagi mengenai UUD ITE supaya masyarakat tidak rancu lagi mengenai tata tertib mengenai cyberlaw ini dan membantu mengurangi kegiatan cybercrime di indonesia. … Isi UU ITE yang Membahayakan Kebebasan Pendapat Pengguna Online. Pasal dalam Undang-undang ITE Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia maya. … Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content Yang jelas, dengan adanya UU ITE ini, sudah ada payung hukum di dunia maya. Maka kalau Anda bergerak di bisnis ini, pelajari baik-baik isinya. Secara umum dijelaskan dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Sumber : http://ghanchou.blogspot.com/